Jumat, 17 Juni 2011

my new cerpen

Hariku adalah Hidupku

Hidup sama dengan bayangan kecil yang
berlari melintas lapangan dan hilang dengan
sendirinya ketika matahari terbenam.



Sebulan yang lalu, aku menjalani hari yang paling panjang dalam hidupku dalam sebuah ruangan pemeriksaan tak berjendela, menunggu hasil pemeriksaan. Dokterku akhirnya memberiku kabar itu: aku mempunyai penyakit leukemia  yang telah menyiksa diriku. Aku diberitahu dengan hati-hati bahwa aku tidak dapat berharap banyak soal kemampuan bertahap hidup dalam jangka panjang.
Aku pulang kerumah dalam keadaan gamang dan menghabiskan sisa malam itu dengan pikiran yang tak menentu. Aku terus berdoa dan selama beberapa bulan pertama itu aku dengan putus asa mengharapkan sesuatu, apa pun yang akan membantuku mendapatkan pegangan dalam hidupku, tetapi yang terus muncul dalam benakku adalah Keesha, anjing tuaku.
Lima tahun sebelumnya, aku telah membeli Keesha sebagai seekor anak anjing kecil seharga lima dolar. Ia keturunan seekor anjing gembala Jerman dan seekor anjing penarik kereta salju Alaska, yang paling kecil dibanding anak-anak anjing seperanakannya. Anjing betina ini mempunyai ciri warna hitam kecokelatan pada mukanya dan sebelah telinganya tidak pernah berdiri tegak.
Keesha tumbuh menjadi anjing cantik berbulu mengkilap dengan perilaku yang cukup menggemaskan. Dia selalu menemaniku tidur, sungguh seekor anjing yang penurut. Setiap sorenya di waktu senggang, aku selalu menyempatkan diri untuk membawanya pergi ke taman untuk sekedar berjalan-jalan atau bermain lempar tangkap bola.
Keesha tak pernah berkeliaran di depan rumahku, seperti anjing-anjing lainnya dia lebih suka menyendiri di rumah bersamaku. Kadang-kadang aku menganggapnya seperti anjing manja yang selalu ingin berada di dekatku, itu memang tidak merugikanku, karena Keesha sosok yang bisa menghiburku  dikala sedih. Ya, dia memang teman curhat yang sangat baik bagiku.
Kurasa aku makin kurus akhir-akhir ini, entah karena terlalu lelah mengerjakan tugas sekolah sampai-sampai aku lupa makan. Tapi kurasa ada faktor lain penyebabnya. Beberapa hari yang lalu aku bahkan sempat pingsan di sekolah dengan hidung yang mengeluarkan banyak darah, kurasa itu hanya mimisan biasa.
Bulan ini musim dingin yang sangat panjang bagiku, tiap harinya aku selalu diam didepan api unggun bersama ayah, ibu, adikku dan Keesha. Aku tak begitu menyukai musim dingin, karena aku tak bisa pergi bermain dengan Keesha, selain itu musim dingin semakin memperburuk keadaanku.
Aku tersentak saat ibuku memanggilku untuk makan malam, lamunanku pun memudar. Aku makan dalam sunyi hari ini, masih berpikir bagaimana nasibku di hari depan dengan penyakit yang telah menggerogoti diriku ini.
Esoknya, aku pergi ke kandang Keesha. Dia tak semangat seperti biasanya saat menyambutku, dia hanya terkulai lemas dengan napas yang tidak beraturan.
“Ibu, Keesha sakit!” teriakku panik saat berlari mencari ibu di dapur.
“Cepat telpon dokter, kumohon!” ibuku hanya berdiri diam dengan ekspresi bingung saat melihatku.
Ayah yang mendengar kepanikanku langsung berhamburan keluar dari kamarnya, “Ada apa Flo?” “Keesha sakit dan perlu pertolongan secepatnya!”
Ayah langsung menelpon dokter hewan. Dokter itu datang dengan membawa koper kecil penuh dengan obat, jarum suntik dan barang medis lainnya. Itu mengingatkanku saat aku diperiksa oleh dokter yang menangani penyakitku.
Dokter hewan itu menyuntikan obat berkali-kali dipaha Keesha, Keesha hanya diam dan tak berontak seperti biasanya saat orang yang baru dia kenal menyentuhnya. Seakan pasrah dengan apa yang dilakukan oleh dokter itu. Napasnya tersengal-sengal seperti orang yang mengidap penyakit asma, tapi itu mengerikan bagiku.
Aku pergi kekamar menangis dalam diam, aku tak tega melihat keadaan Keesha. “Keesha akan baik-baik saja, kau tak perlu khawatir, dokter telah memberinya beberapa obat.” Ayah berusaha menenangkanku. Aku hanya mengangguk paham.
Keaadaan Keesha tak berubah setelah seminggu kemudian, bahkan dia makin parah. Aku menangis melihat keadaannya, dari matanya kulihat tatapan kesedihan yang seakan memintaku untuk membebaskannya dari siksaan itu. Tapi apa daya, aku tak bisa melakukan apapun, hingga akhirnya Keesha pergi untuk selamanya.
Beberapa bulan telah berlalu, aku kembali terkurung didalam kamar rumah sakit yang penuh dengan bau obat. Setiap harinya aku selalu melihat ibu menangis melihat keadaanku ini, aku selalu berusaha menenangkannya tapi itu malah membuat tangisannya makin bertambah, hingga akhirnya aku tak pernah melalakukan hal itu lagi. Ayah selalu terlihat tegar, tapi aku yakin hatinya tak setegar kelihatannya. Adikku selalu bertanya, “Kenapa kakak harus tidur disini dengan banyak selang di tubuhmu, tidak bisakah kita pergi sebentar untuk bermain?” Aku berusaha menahan tangis, tak mungkin aku berkata jujur tentang penyakitku ini pada anak kecil yang baru berumur 5 tahun. Aku hanya bilang, “Para dokter itu hanya ingin bermain denganku makanya mereka memasang banyak selang di tubuhku, supaya aku tidak pergi, jadi kau harus sabar menunggu giliran bermain denganku ya.” Aku berusaha tersenyum mengatakan hal itu pada adikku, dan untungnya dia percaya. 
Kata dokter aku harus segera mendapat donor sumsum tulang belakang, orang tuaku berusaha menjadi pendonor tapi golongan darah mereka berbeda, dari sanalah aku tahu, kalau aku bukan anak kandung mereka. Kenyataan ini sangat menyayat hatiku, ingin rasanya aku menceritakan semua ini pada Keesha, tapi itu tak mungkin dia sudah meninggalkanku lebih dulu.
Lama-kelamaan aku bisa menerima ini semua, tak ada yang berubah mereka tetap menyayangiku seperti anak kandung mereka sendiri. Akhirnya aku mendapat donor dari seseorang yang sangat mulia hatinya, padahal aku tak mengenalnya.
Beberapa minggu setelah operasi pendonoran itu, keadaanku bukannya semakin membaik tapi sangat buruk. Aku mulai mengingat Keesha lagi saat keadaannya mulai sekarat dan aku hanya bisa menangisinya.
Akhirnya aku mengerti, tak beberapa lama lagi aku akan seperti Keesha. Pergi dari dunia ini untuk selamanya. Meninggalkan keluarga yang kusayang, aku tak akan bisa lagi bermain dengan adikku seperti janjiku padanya.
Tapi aku berharap mereka tak akan pernah melupakanku selamanya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar