Minggu, 03 Juli 2011

Bagai Sebuah Simponi - Part 1

Hari ini aku terbangun setelah bermimpi buruk itu lagi, mimpi yang selalu membayangiku setelah kecelakaan tiga tahun yang lalu. Kecelakaan yang telah membuatku tidak bisa berbicara lagi, ya sejak kecelakaan itu aku menjadi bisu karena mengalami kerusakan pada pita suaraku.
Masih jelas terbayang bagaimana kecelakaan itu terjadi, waktu itu adalah hari pertamaku mengikuti ujian sekolah, hari yang paling kunantikan setelah belajar setengah mati di hari sebelumnya untuk mengingat rumus-rumus matematika yang begitu sulit dan kuharap kerja kerasku bisa menghasilkan yang terbaik.

Seperti biasanya aku berdiri di pinggir jalan untuk menunggu bus yang lewat, setelah kira-kira sepuluh menit menunggu akhirnya bus pun berhenti tepat di depanku. Aku memasuki bus dengan tergesa-gesa karena tidak ingin terlambat di ujian sekolahku hari ini. Duduk dengan perasaan yang tak menentu, entahlah kurasa aku terlalu gugup hari ini. Untuk mengurangi rasa gugup itu aku mengeluarkan iPod kesayanganku yang selalu kubawa kemana saja. Musik klasik mengalun indah di telingaku mampu mengayutkan suasana hati seseorang yang mendengarnya, tapi musik itu tidak terdengar lagi setelah aku mengalami benturan yang sangat keras ditubuhku, sekilas aku melihat sebuah truk besar menghantam bagian depan bus yang kutumpangi setelah itu aku sudah tak mengingat  apapun lagi.

Kata ibuku aku koma selama 5 hari setelah kecelakaan itu, untungnya aku masih hidup tapi naas aku harus kehilangan suaraku. Dokter menyarankan untuk mengoperasiku tapi apa daya keluargaku tidak punya biaya untuk itu, keluargaku bukanlah sebuah keluarga yang berlimpah harta. Ayahku hanyalah penjual makanan yang membuka warung usahanya di depan rumah kami, sedangkan ibuku hanya seorang penjahit pakaian yang tidak menentu pendapatannya, walaupun begitu aku sudah cukup bahagia hidup bersama mereka. Aku selalu berusaha membahagiakan mereka, karena hanya aku anak mereka satu-satunya, anak semata wayang begitu orang-orang sering menyebutnya. Luna begitulah namaku.

Sekarang, aku telah berusia 19 tahun. Aku bekerja pada sebuah toko butik sebagai pendesain pakaian. Aku mulai tertarik dengan bidang ini karena dari kecil sudah terbiasa melihat ibuku menjahit atau membuat pakaian. Awalnya sungguh sulit mendapatkan pekerjaan karena sudah dipastikan tidak akan ada orang yang mau menerima orang cacat sepertiku.


~(flashback)~
            Tanpa disengaja aku melihat sebuah toko butik yang memerlukan seorang pekerja sebagai pendesain, aku masuk dengan langkah gontai dan tak bisa berharap banyak.
Aku menggunakan bahasa isyarat untuk bertanya kepada salah seorang yang sedang berdiri di depan meja kasir, dia agak kebingungan dan tak mengerti apa yang akan aku katakana. Lalu aku mengeluarkan secarik kertas yang ada di dalam tasku dan menuliskan apa yang ingin aku katakan,
“Apa benar butik  ini mencari seorang pekerja sebagai  pendesain?”
“Iya, benar. Apa anda ingin melamar pekerjaan disini?” kata perempuan manis yang di bajunya terdapat sebuah pin yang bertuliskan Christin, dan aku yakin itu pasti namanya.
Ya saya sangat berminat bekerja disini, apa masih ada kesempatan?”
“Oh, tentu saja nona. Kami sangat memerlukan seorang pendesain yang handal. Saya harap anda bisa melakukannya dengan baik, mulai besok anda sudah mulai bisa bekerja.”
Aku tersenyum senang, “Terima Kasih, saya berjanji akan bekerja dengan baik.”
Sungguh tak terbayangkan saat aku akan diterima di butik itu, sangat menyenangkan.
~(flashback end)~

Hari ini aku telah menyelesaikan sebuah desain pakain untuk musim panas tahun ini, aku suka sekali dengan model pakaian yang aku buat, entahlah aku selalu merasa senang melihat hasil desainku makanya aku selalu membuat inovasi terbaru setiap tahunnya, bahkan setipa bulannya jika aku mau.
Christin menyuruhku menghantarkan beberapa pakaian dari butik untuk dibawa ke sebuah hotel, katanya ada pelanggan yang menyuruh menghantarkan pakaian pesananya, karena orang itu tidak sempat untuk pergi ke butik ini. Sesampainya di hotel aku langsung pergi ke sebuah kamar hotel yang bernomer 702 itu, sebelumnya Christin sudah memberi tahu kamar pelanggan itu. Tapi belum sempat aku berdiri di depan kamar tersebut, tiba-tiba pelanggan wanita itu sudah keluar dan pergi meninggalkan kamarnya, dengan cepat aku berlari dan mengejarnya.
Tapi tunggu, saat sepintas aku melihat wajahnya…..
 Oh tidak, mana mungkin ya Tuhan! Wajahnya sama persis seperti wajahku! Apakah kita kembar atau hanya sebuah kebetulan?.

 ~To be Continued~

2 komentar: